manik karamel
Sepuluh menit.
Sepuluh menit adalah sisa waktu Nina sebelum istirahatnya berakhir dan ia harus kembali bekerja. Akan tetapi, Nina mendapati dirinya belum bisa meninggalkan pembicaraan di ruang santai kantor. Bukan karena cerita perjalanan Indah selama cuti di Jogjakarta, melainkan karena laki-laki yang duduk di hadapannya.
Indah masih mengoceh soal dirinya yang berjalan dari ujung Malioboro hingga titik nol. Anak-anak yang lain menyahut sesekali. Nina masih mendengarkan dalam diam, tapi matanya selalu kembali ke laki-laki di hadapannya. Dika namanya.
Entah sejak kapan Nina selalu menunggu kehadiran Dika. Sengaja berlama-lama melahap sarapan di pantri kantor demi melihat sekelebat sosok Dika yang baru datang. Kalau sudah melihat, sebuah senyum tipis akan tersungging dan Nina akan menghabiskan sarapan seperti biasa.
Di lain kesempatan, Nina yang sebenarnya kikuk dalam bergaul akan berusaha meluweskan diri dan mencari-cari topik pembicaraan agar semata bisa mendengar suara Dika. Suara bariton Dika begitu sopan menyapa telinga dan Nina bertanya-tanya apakah suara Dika juga bagus saat bernyanyi.
Delapan menit lagi.
Saat ini Nina sudah masa bodoh. Pekerjaannya sudah hampir selesai jadi tidak masalah jika dia terlambat masuk lima menit. Dalam sisa waktu yang ada, Nina ingin merekam semua detail Dika. Bahkan jika ia bisa, ia akan mengabadikan pemandangan di depannya; seorang Dika yang duduk menghadap jendela, membiarkan terik matahari bias di figurnya.
Lengan Dika jauh berisi jika dibandingkan dengan lengan kurus Nina. Tubuh Dika menjulang paling tidak lima belas senti lebih tinggi dari si puan. Rambut Dika yang hitam legam mengingatkan Nina akan rambut sang adik, hanya saja rambut si adik memiliki helai lebih lembut dan Nina ingin merasakan bagaimana rasanya membelai rambut Dika.
Kemudian mata Dika. Oh, mata itu. Yang kini terbebas dari kacamata bingkai tipis terlihat berkilau. Dan Nina bertanya-tanya apa sudah ada orang yang berkata pada Dika bahwa matanya berpendar dengan sorot jenaka yang menghanyutkan? Warna cokelat gelap di kedua netra itu mengingatkan Nina akan karamel buatan mamanya. Dan sungguh, perpaduan kilau dan warna coklat itu membuat Nina susah berpaling.
Betapa Nina ingin terperangkap di dalam sana. Menyelami segala duka dan suka, semua luka dan cita. Dan jika semesta berbaik hati padanya setelah patah hati yang hampir merenggut jiwanya, ia ingin memahami jiwa Dika, berbicara dalam bahasa ruhnya sehingga Dika tidak perlu susah-susah menerjemahkan diri dan jiwanya.
Sungguh, Nina ingin menghentikan waktu dan menghabiskannya dengan tersesat di dalam manik karamel itu. Kawan-kawan karibnya pasti akan mencemoohnya dengan sebutan ‘gila’. Yah, satu kawan sudah mengalamatkan julukan itu padanya tempo hari ketika dadanya membuncah akan interaksi dengan Dika. Dan apabila dirinya memang sudah gila, maka biarlah.
“Eh, masuk yuk,” ujar Dika kepada teman-temannya.
Nina tersenyum tipis sekali hingga hampir tidak terlihat. Alasannya berada di ruang santai sudah habis, jadi ia bergegas kembali ke meja kerjanya.