“sudah berapa?”
“apanya?!”
“I’m sorry I’m late. Have you been waiting for too long? The traffic is just ugh…hectic as always.”
Irfan membiarkan perempuan yang baru saja tiba dan saat ini duduk di hadapannya untuk memuntahkan kata dan mengambil napas. Ia bisa melihat beberapa bulir keringat menghiasi pelipis si puan. Polusi dan panas memang bukan perpaduan sempurna untuk sebuah kota.
“Nggak juga.” Irfan menggeleng.
Dua orang tersebut kemudian saling tatap. Menelisik satu sama lain lewat mata karena perjumpaan menjadi hal langka sejak jarak membentang. Di mata Irfan, perempuan itu — Prita — tidak jauh berbeda dari kali terakhir mereka bersua. Prita masih memiliki rambut sebahu yang sekarang lebih rapi akibat styling. Pilihan busana kasual dengan sepatu sneakers monokrom masih jadi opsi. Kantung mata Prita hampir tidak nampak dan Irfan tahu itu berkat concealer, bukan tidur yang cukup.
Di mata Prita, Irfan juga tidak jauh berbeda. Rambut ikalnya masih berombak rapi. Kacamata bingkai tebal setia bertengger. Kumis dan janggutnya dicukur dengan teratur. Serta gaya berbusana Irfan yang bagi Prita sungguh merupakan template anak FISIP tidak berubah.
“So, how’s life? Udah setaun kan, sejak kita terakhir ketemu?” Prita membuka percakapan dengan pertanyaan basa-basi.
“Yaaa…begitulah. Good, I guess? How about you?”
“Also good, I guess?” Ada jeda sejenak karena pesanan Prita tiba. “We both are lying, right, about our lives?”
Kemudian keduanya tertawa akan kebohongan yang baru saja mereka lontarkan. Sejatinya kehidupan mereka suka sekali terantuk masalah atau hal-hal lain yang membuat mereka sedih. Tapi bukankah hidup memang begitu? Susah dan senang datang silih berganti. Dan hidup sebagai dewasa muda di usia dua puluhan di jaman sekarang bukan hal yang mudah. Lebih-lebih jika privilese bukan sesuatu yang sudah ada dalam genggam sejak lahir.
“Jadi, Ta, sebelum aku tanya ke hal-hal lain yang umum ditanyakan seseorang kepada kawannya setelah sekian waktu tidak berjumpa, aku mau tanya satu hal. Tolong dijawab jujur, oke?” Telunjuk Irfan teracung.
“…oooo-ke?” Prita mengangguk pelan. Curiga akan pertanyaan yang belum Irfan lontarkan. Curiga karena ada kilat jahil di mata si tuan.
“Udah berapa?”
“Apanya?” Nada Prita sedikit meninggi dan alisnya bertaut.
Irfan, cuma tersenyum-senyum menahan tawa. “I don’t know, pokoknya udah berapa?”
“Nah iya, apanya yang udah berapa?!” Kali ini kedua mata Prita membulat. Seolah-olah sudah siap lepas dari soketnya dan menggelinding bebas di lantai kafe.
Sekarang Irfan benar-benar tertawa, tanpa tertahan. “Like I said, I don’t know. You name it. It could be anything you perceive.”
“Fan, kalo aku ga salah inget, kamu udah pernah tanya begini di bulan pertama aku pindah ke sini.” Sebuah usaha dari Prita untuk membelokkan arah pembicaraan.
“Yep, bener banget. Dan aku mau tanya lagi setelah setahun kamu pindah ke sini. Siapa tahu jawabanmu beda.” Irfan tersenyum jahil.
Prita menghela napas. “Masih sama kok.”
“Serius?”
“Dua rius, Irfannnn.” Sengaja Prita memanjangkan ucapan. “I’m busy, you know? Dua puluh empat jam kayaknya nggak cukup buat hidup di kota ini. Aku bahkan baru bisa settle dengan kerjaan dan kegiatan yang lain tuh, baru-baru ini.”
“Hmmm…terus gimana kabar orang yang selalu kamu sebut di akun privatmu itu?” Irfan nyengir jahil dan Prita hampir tersedak kentang goreng.
Melihat itu, Irfan justru tertawa. Sungguh tidak lucu. Bagaimana kalau Prita tersedak sampai yang gawat dan Heimlich maneuver harus dilakukan? Memang Irfan bisa?
Prita menggeleng, lalu menjawab dengan singkat dan sekenanya. “Nggak tahu. Sulit.”
“Kok nggak tahu? Kok sulit?”
Pertama kali dalam hari ini, setelah sekian lama, Prita menatap Irfan dengan tatapan please-deh-yang-bener-aja seraya menghela napas. “Bisa nggak, nggak usah banyak cakap?”
Sekali lagi, Irfan tertawa. “I’m just asking, Ta. Aku tuh selalu nungguin kamu update soal orang itu, lho.”
Mengunggah soal orang yang ditaksir di akun privat sosial medianya membuat Prita lupa kalau di akun itu tidak hanya ada dia saja. Beberapa temannya di dunia nyata juga ada di sana. Gelembung kecil dalam gembok itu menyediakan semacam ilusi bagi Prita bahwa apa yang ia unggah hanya akan jadi konsumsinya saja.
“Jadi progress-nya gimana nih, Ta?”
Buset. Irfan masih saja tidak menyerah dalam mengorek informasi. Prita yakin betul setelah mendapatkan informasi, Irfan akan berghibah bersama Mita karibnya walau Mita juga jadi sarana pembuangan cerita-cerita Prita soal orang itu.
“Ga tau. Stuck kali,” jawab Prita singkat.
“Kok stuck?”
“Yaaa…karena emang stuck?? I mean, how do I make a move and flirt with him without making it obvious that I make a move and flirt with him? Aku tuh ga mau nanti kita jadi canggung atau gimana-gimana.”
“Oh, mau main aman, I see.”
“Bro, I don’t wanna lose him.”
“Ya tapi nggak bisa gitu, Prita. Kalo kamu maunya main aman terus, ya nggak bakal kemana-mana. Take that risk, I think it’s worth it. Daripada kamu stuck terus, kayaknya bakal lebih baik kalo kamu ambil resiko itu dan nanti apapun hasilnya, usahamu buat apapun itu nantinya bakal lebih gampang.”
Prita diam dan sedikit tidak suka karena perkataan Irfan sudah seperti panah yang dihembuskan dan tertancap dalam di hatinya.
“Makanya, Ta, lebih baik tuh….” Sengaja Irfan memotong kalimatnya dan ketika Prita menatapnya dengan alis yang naik, Irfan melantunkan sebuah lagu, “Sampaikan keruhnya menyimpan rasa sejak lama, baiknya kau kira~”
“Same song for a different story, huh?”
“Lah, iya juga ya?”
Keduanya kembali tertawa.
special shout out to my fellow fool friend, Fadhil.